Selamat ulang tahun pangkajene dan kepulauan


PALU, Faktualsulsel.com- 3 Oktober 2018 ba’da Magrib. Telepon saya berbunyi dari dokter Wahyudi Muchsin. “Kak, ada adik-adik relawan dari Tekpala Fakultas Teknik Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar tiba di Pelabuhan Pantoloan. Mereka tak ada yg jemput dan belum ada lokasi untuk Posko. Tolong dibantu Kak bagaimana mereka bisa tiba di Palu..” kata dokter muda yang menjuluki dirinya dokter Coboy ini.

Saya berpikir keras. Bagaimana caranya agar adik-adik relawan ini bisa tiba di Palu dengan selamat dan ditaruh di posko yang mana. Karena untuk keluar dari Pantoloan dengan logistik yang banyak, penting ada pengawalan aparat TNI atau Polisi. Tahu sendiri, pasca tsunami dan gempa di Palu tiba-tiba muncul para penjarah, yang mengambil bantuan logistik untuk korban gempa di jalan yang dilewati.

Hampir sejam bolak balik menelpon pihak-pihak terkait, pejabat pemerintah dan satgas penanganan bencana belum ada kejelasan siapa yg siap menjemput relawan.

Saya menenangkan Fahmi, koordinator Relawan, agar mau bersabar menunggu hingga ada pihak yang menyatakan siap menjemput. Dari pihak Pemprov Sulteng memang telah meminta nomor kontak koordinator relawan tersebut. Namun, menurut Fahmi mereka belum kunjung ditelepon.

Waktu menjelang Isya. Bolak balik mencari cara, lalu telpon berdering, dari Fahmi. “Bu, pelabuhan sudah akan ditutup. Kami diminta untuk bergeser. Saat ini ada Aparat TNI yang siap mengantar kami ke titik dimana yang ibu tentukan.” Langsung saya sambut, “Fahmi, ayo kita ke rumah saya. Kita buka posko sementara di situ,” tandas saya.

Di tengah kegalauan dan ketidakpastian, informasi Fahmi bahwa ada tentara yang mau mengantar dan mengawal para relawan sampai di Palu, ini kesyukuran yang luar biasa. Pada kondisi semua serba terbatas, sementara pekerjaan amat menumpuk saya sangat mahfum bila ini akan berjalan lambat. Perlu waktu yang panjang. Syukurnya hanya 1,5 jam untuk urusan Fahmi dkk.

Akhirnya kami bertemu di Jalan Emy Saelan Palu depan asrama Batalyon 711. Ada 18 relawan Tekpala FT-UMI Makassar yang diangkut mobil truck dengan dua Tentara, Koptu Marinir Bangkit Riyanto dan Kopda Marinir Sukardiyanto.

Haru bercampur kegembiraan menyeruak dalam hati saya saat melihat mereka. Saya adalah korban terdampak gempa, sejak tiga malam terakhir pasca gempa Jumat 28 September 2018, tinggal bertiga dengan suami dan anak di kompleks perumahan 1000 rumah yang ramai, namun lima hari terakhir menjadi rumah tak bertuan, gelap, dan sepi. Penghuninya memilih mengungsi ke daerah lain.

Kami berjalan bertiga di tengah kegelapan malam, tanpa cahaya lampu jalanan, tak banyak orang berlalu lalang, hanya kerumunan orang pada titik pengungsian. Sekali-kali tercium bau bangkai mayat dari reruntuhan bangunan yang belum tersentuh penanganan. Baunya dibawa angin malam yang gerah dan tak biasa. Lima hari serasa seperti lima tahun berjalan tanpa harapan.

Maka kehadiran mereka menjadi obat ampuh mengembalikan semangat dan keceriaan setelah berhari hari dilanda kecemasan dan ketidakpastian. Sampai kapan ini terjadi?

Haru biru semakin terasa ketika Koptu Marinir Bangkit bercerita bahwa dia dan Kopda Sukardiyanto sudah berada di Palu hari kedua pasca gempa, Sabtu 29 September 2018.

“Begitu ada berita, komandan langsung minta kami untuk turun ke Palu. Siap Ndan!! Tak banyak persiapan dengan seragam di badan, malam itu pukul 12 (24.00 wita) kami langsung bergerak,” tuturnya kepada saya.

Perjalanan Makassar melewati Mamuju, mereka tempuh dengan semangat. Memasuki Kabupaten Donggala Sulteng, medan menjadi sulit. Jalan normal yang harus dilewati tak ada lagi pascatsunami dan gempa yang melanda tiga lokasi Kabupaten Donggala, Kota Palu dan Kabupaten Sigi. Mereka menerabas jalan.

“Sepanjang jalan Donggala – Palu, mayat banyak bertebaran, di jalan, ” tutur Koptu Bangkit. Namun tugas menunggu mereka di Palu. Mereka berjalan terus.

Masuk di Kota Palu, mau tak mau mereka harus melewati jalur Pantai Talise, di lokasi Festival Pesona Nomoni yang tersapu Tsunami. Mereka menghentikan mobil dan beristirahat sejenak di situ. “Kami mendengar suara suara ibu-ibu meminta tolong. Paginya ketika bangun, ternyata ada mayat perempuan persis didekat ban mobil,” tutur Bangkit dengan tenang.

Hari itu, Sabtu 29 September, mereka telah mengevakuasi tujuh mayat di lokasi mereka beristirahat. Saat itupun Bangkit meyakinkan bahwa bencana ini dahsyat dan pasti akan banyak korban.

Hari-hari berlanjut tak terasa mereka sudah 6 hari di Palu, mereka bekerja tak kenal lelah. Bangkit dan Sukardiyanto mengerjakan apa saja. Bisa evakuasi mayat, bisa mengangkut pengungsi, mengangkut relawan dari pelabuhan Pantoloan, apa saja mereka kerjakan.

Jangan ditanya kulit kelam dan terbakar. Terik matahari Palu ini bisa sampai 37 derajat celcius tercatat, namun level 39 bisa terasa dikulit. Apalagi pascagempa tsunami suhu terasa meningkat. Bumi Tadulako memang tengah bergejolak.

Bukan kali ini Koptu Bangkit bekerja penanganan bencana. “Saya pernah dikirim juga di Aceh saat tsunami 2004. Saya sampai ke Lhoksumawe juga,” ceritanya. Sampai kapan masa tugas di Palu? “Itu kami nda tahu, bisa sebulan bisa lebih, tergantung perintah,” ujar Bangkit.

Saya yakin ada ribuan tentara yang saat ini bekerja di Palu seperti Bangkit dan Sukardiyanto. Mereka bergerak dalam diam. Hanya bekerja, bekerja dan bekerja. Mengumpulkan semua mayat mayat dan mengevakuasi manusia yang masih hidup.

Mungkin mereka tak tersorot kamera. Tak muncul dalam media sosial apa saja. Namun masih bisa tersenyum semringah bukti kerja mereka ikhlas. Karena mereka tetap sehat, tegap dan sergap meski kerja pagi hingga pagi lagi.

Kamis, 4 Oktober 2018 pagi, 18 anggota relawan Tekpala FT-UMI Makassar segera bergerak mendata pengungsi dan penghuni rumah di Kompleks Perum Klapa Gading, membagi logistik ke setiap rumah-rumah, mendata ibu-ibu hamil yang akan melahirkan, bersiap siap mengantar mereka ke RS Undata dan persiapan untuk ke lokasi-lokasi yang belum tersentuh penanganan.

Mereka bekerja dalam diam. Sekali-sekali bercanda, saling mengejek diantara mereka. Tak boleh mempublikasi diri sendiri. Meski mereka mahasiswa yang hidup di jaman serba narsis.

“Sampai kapan kalian di Palu?” Tanya saya. Kalau lihat-lihat kondisinya Bu, kemungkinan bisa sampai sebulan, bisa lebih, kata si gondrong sambil lalu dan terus bekerja. Bersyukur rasanya masih ada manusia-manusia seperti mereka. Bekerja dengan ikhlas tanpa citra.

Sumber:*** MF

By Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *